• AL-AMIN CINTAMULYA
  • Jl. KH. Hasyim Asyari No. 09 Desa Cintamulya

Pesantren sebagai Agen Moderasi Sosial di Era Digital: Menyambut Satu Dasawarsa Hari Santri

Oleh: Muhammad Fuad Mubarok

Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan simbol pengakuan negara terhadap kontribusi besar santri dan pesantren bagi bangsa Indonesia. Penetapannya melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015 tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan melalui pertimbangan historis, sosial, dan religius yang panjang. Peringatan ini sekaligus mengafirmasi fakta bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan entitas sosial dan kultural yang telah menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat Indonesia. Menjelang satu dasawarsa Hari Santri, refleksi mendalam perlu dilakukan: bagaimana pesantren mampu bertahan, beradaptasi, bahkan memperkuat perannya di tengah arus globalisasi, digitalisasi, serta meningkatnya ancaman intoleransi dan ekstremisme transnasional?

Pesantren memiliki daya tahan karena ia tidak hanya berdiri sebagai institusi pengajaran, tetapi juga sebagai sebuah habitat budaya dan laboratorium sosial. Dalam pengertian Pierre Bourdieu, pesantren telah melahirkan habitus keagamaan yang khas: sebuah pola pikir, sikap, dan tindakan yang melekat pada diri santri melalui interaksi sehari-hari dengan kiai, ustaz, dan lingkungan sosialnya.[1] Habitus ini mencakup adab, sikap tawadhu, kemampuan hidup sederhana, dan keterampilan mengelola keragaman. Ketika para santri kembali ke masyarakat, habitus tersebut terbawa, memengaruhi pola relasi sosial dan membentuk praktik keberagamaan yang moderat. Inilah salah satu alasan mengapa pesantren selalu dipandang sebagai benteng sosial yang mampu menahan arus radikalisme.

Sejarah membuktikan bahwa pesantren sejak awal telah berkontribusi pada pembentukan kebangsaan. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata keterlibatan pesantren dalam politik kebangsaan. Gerakan itu menjadikan agama sebagai kekuatan moral yang memperkuat perjuangan kemerdekaan. Jika memakai kerangka civil religion Robert Bellah, peran pesantren dapat dipahami sebagai bentuk agama sipil Indonesia: sebuah ekspresi keagamaan yang menopang identitas nasional, mengikat solidaritas masyarakat, dan menyediakan legitimasi spiritual bagi negara.[2] Hal ini membuktikan bahwa moderasi bukan konsep baru di pesantren, melainkan bagian dari DNA historisnya.

Dimensi kultural pesantren juga memainkan peran vital. Clifford Geertz, dalam studinya tentang masyarakat Jawa, menunjukkan bagaimana pesantren berhasil menjembatani Islam dengan budaya lokal, menciptakan pola keberagamaan khas yang lebih lentur dan akomodatif.[3] Tradisi seperti selametan, tahlilan, dan haul bukanlah sekadar ritual, melainkan simbol integrasi agama dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Pesantren berperan mengislamisasi tradisi tanpa merusak jati diri budaya lokal. Inilah akar dari Islam Nusantara, yakni Islam yang membumi, toleran, dan berorientasi pada harmoni sosial.

Namun, tantangan kontemporer memaksa pesantren menempuh jalan baru. Era digital mengubah cara masyarakat mengakses pengetahuan, berkomunikasi, dan berinteraksi. Jika dulu pesantren menjadi pusat otoritas keilmuan dengan cara tatap muka, kini santri dan masyarakat menghadapi banjir informasi di dunia maya, termasuk arus paham radikal yang menjadikan media sosial sebagai saluran utama. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa banyak pesantren, seperti Pesantren Lirboyo, sudah mulai aktif menggunakan platform digital untuk menyebarkan narasi Islam moderat.[4] Ini membuktikan bahwa pesantren tidak pasif, melainkan sedang bertransformasi menjadi aktor baru dalam dunia digital.

Sebagai gerakan sosial, pesantren telah menginternalisasikan nilai moderasi beragama ke dalam praktik sehari-hari. Moderasi tidak selalu diajarkan melalui kurikulum formal, melainkan melalui pola hidup, adab, dan khidmah yang ditanamkan kiai kepada santri. Hidden curriculum inilah yang menjadikan pesantren efektif dalam menanamkan nilai toleransi. Dalam konteks ini, pesantren berfungsi sebagai civil society organization yang memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia. Alumni pesantren yang terjun ke masyarakat membawa nilai-nilai tersebut, memperkuat jejaring sosial yang inklusif dan memperlemah ruang bagi tumbuhnya ekstremisme.[5]

Di sisi lain, dimensi fikih menegaskan basis normatif bagi moderasi pesantren. Pengajaran kitab kuning tidak berhenti pada hafalan hukum, tetapi mengajarkan metodologi istinbath atau pengambilan hukum yang mempertimbangkan teks, konteks, dan kemaslahatan. Kitab klasik seperti Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib, dan Tuhfah al-Muhtaj dipelajari bukan hanya untuk mengerti isinya, tetapi juga untuk memahami kerangka berpikir ulama. Melalui forum bahtsul masa’il, pesantren melatih santri untuk menjawab persoalan kontemporer dengan cara kolektif. Prinsip maslahah mursalah, urf (adat), dan dar’ul mafasid menjadi instrumen hukum yang relevan untuk menjawab persoalan modern, dari transaksi digital hingga isu lingkungan.[6]

Contoh nyata adaptasi ini adalah koperasi pesantren Sidogiri. Berangkat dari dasar fikih muamalah klasik, pesantren ini mengembangkan lembaga ekonomi yang sukses menjawab kebutuhan umat sekaligus menjaga prinsip syariah.[7] Hal ini memperlihatkan bahwa fikih di pesantren tidak berhenti pada ruang kajian, melainkan diwujudkan dalam praksis nyata.

Jika kita melihat lebih luas, pesantren di Indonesia juga memiliki karakter unik dibandingkan lembaga Islam di negara lain. Madrasah di Pakistan, misalnya, cenderung menjadi pusat reproduksi wacana konservatif karena terlalu terikat pada kurikulum kaku, sementara pondok di Thailand Selatan seringkali berhadapan dengan konflik identitas dan politik yang mempersempit ruang dakwah. Pesantren di Indonesia relatif lebih lentur karena keberadaannya selalu berpadu dengan budaya lokal, menginternalisasi nilai kebangsaan, serta menjalin hubungan organik dengan masyarakat.[8] Keunikan ini menjadi modal besar bagi pesantren untuk tampil sebagai model moderasi Islam dunia.

Menjelang satu dasawarsa peringatan Hari Santri Nasional (HSN), pesantren menghadapi agenda besar untuk memperkokoh perannya. Pertama, memperkuat literasi digital agar santri tidak hanya menjadi konsumen, tetapi produsen narasi keagamaan yang menyejukkan. Kedua, memperjelas kurikulum moderasi sehingga nilai toleransi, kebangsaan, dan anti-kekerasan tidak hanya implisit, tetapi juga eksplisit dalam pendidikan. Ketiga, memperluas kolaborasi dengan komunitas lintas agama dan lembaga internasional untuk menjadikan pesantren sebagai pusat moderasi global. Dengan strategi ini, pesantren akan mampu menggabungkan akar tradisi dengan visi global, sehingga menjadi aktor penting dalam peradaban digital yang penuh tantangan.

Dalam konteks ini, tema Hari Santri 2025, yaitu “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, memberi pesan strategis bagi pesantren dan santri di era kini. “Mengawal Indonesia Merdeka” tidak lagi terbatas pada menjaga kedaulatan fisik bangsa dari ancaman kolonialisme, sebagaimana resolusi jihad 1945, tetapi juga meliputi upaya menjaga kedaulatan budaya, kedaulatan digital, dan kedaulatan moral di tengah penetrasi ideologi transnasional. Pesantren dituntut untuk meneguhkan nasionalisme santri agar mampu menghadapi tantangan geopolitik, perang narasi di media sosial, dan penetrasi budaya global.[9]

Sementara itu, frasa “Menuju Peradaban Dunia” menunjukkan bahwa pesantren harus berperan melampaui batas-batas domestik. Hal ini sejalan dengan gagasan soft power Islam Nusantara, di mana tradisi Islam di Indonesia yang moderat, ramah budaya, dan berakar pada masyarakat dapat ditawarkan sebagai model alternatif bagi dunia yang tengah dilanda polarisasi agama dan politik. Peran pesantren tidak hanya menjaga integrasi bangsa, tetapi juga menyumbangkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin dalam percaturan global. Dengan kata lain, santri Indonesia dipanggil untuk menjadi duta moderasi, duta perdamaian, dan duta peradaban di tingkat internasional.[10]

Dengan demikian, peringatan Hari Santri bukan hanya kilas balik sejarah, melainkan momentum meneguhkan kembali peran pesantren sebagai benteng moderasi sosial. Pesantren telah membuktikan diri sebagai pusat ilmu, gerakan sosial, penjaga tradisi, sekaligus agen perubahan. Tradisi yang terjaga, budaya yang akomodatif, jaringan sosial yang kuat, dan metodologi fikih yang lentur menjadikannya relevan hingga hari ini. Satu dasawarsa Hari Santri harus dibaca sebagai kesempatan memperkuat pesantren dalam menghadapi dunia yang semakin digital, plural, dan penuh tantangan, sekaligus memperlihatkan bahwa dari pesantrenlah lahir Islam yang damai, rahmatan lil ‘alamin, dan berdaya global.

_____________________________________

Catatan Kaki
[1]: Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press.
[2]: Bellah, R. (1967). Civil Religion in America. Journal of the American Academy of Arts and Sciences.
[3]: Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
[4]: Syaifudin Zuhri. (2025). "Moderasi Beragama di Era Digital: Dinamika Penyebaran Pesan Keagamaan Pondok Pesantren Lirboyo di Media Sosial". Jurnal Kopis, 7.
[5]: Mahatma, M. (2025). "Pendidikan Moderasi Beragama di Pesantren Sunanul Huda Sukabumi, Jawa Barat". Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 11.
[6]: Basri, H. H. (2012). "Pengajaran Kitab-Kitab Fiqih di Pesantren". Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 10.
[7]: Mustofa, I. (2022). "Fikih Mu’amalah Berbasis Kitab Kuning dan Implementasinya di Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri". Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[8]: Noorhaidi, H. (2011). Islam di Ruang Publik Global. CSRC Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[9]: Azra, A. (2007). Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
[10]: Madjid, N. (2008). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Jakarta: Paramadina.

Tulisan Lainnya
Upacara Bendera: Ruang Edukasi Nilai-Nilai Kebangsaan

Setiap Senin pagi, halaman sekolah selalu berubah menjadi ruang yang khidmat. Siswa-siswi berdiri berbaris rapi, seragam putih abu-abu atau putih biru terlihat seragam, dan wajah-wajah

22/09/2025 23:07 - Oleh Alamin Cintamulya - Dilihat 130 kali
Idul Adha: Momentum Pengorbanan, Keikhlasan, dan Kepedulian Sosial

Idul Adha, hari raya besar kedua bagi umat Islam setelah Idul Fitri, bukan sekadar perayaan yang diwarnai oleh prosesi penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, Idul Adha adalah peris

05/06/2025 18:24 - Oleh Alamin Cintamulya - Dilihat 571 kali